Oleh: Priyanto, S.Pd.I., M.Pd.I.
(Kepala SMP Negeri 3 Kutasari)
Salah satu pengalaman Rasulullah saw dalam rangka mendidik taqwa kepada umat manusia ialah pengalaman Isra dan Miraj. Puncak dari perjalanan Isra Miraj adalah diterimanya perintah shalat wajib langsung dari Allah Swt tanpa melalui perantara sebagaimana perintah agama yang lain. Sepintas perintah shalat ini tidak jauh berbeda dengan perintah keagamaan lainnya. Namun jika direnungkan secara tepat dan mendalam, shalat mengandung dimensi kemanusian yang yang sangat luas. Dalam momentum peringatan Isra Miraj tahun ini perlu kiranya menelusuri pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya dengan melakukan muhasabah atas ibadah shalat kita selama ini dengan pertanyaan, sudah benarkah ibadah shalat kita?
Menurut Al-Jabiri, shalat selain memiliki misi spiritual-teologis juga memiliki misi moral-sosiologis sekaligus. Dalam hal ini, misi spiritual shalat adalah membimbing manusia memasuki alam kesadaran, bahwa ia hanyalah mahluk lemah. Sedangkan misi sosial adalah bagaimana mengajarkan manusia tentang nilai-nilai adiluhung demi menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang berkepribadian utama, berakhlakul karimah, serta memahami setiap hak dan kewajiban dalam hidup berkomunitas.
Allah Swt berfirman: Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Qs. al-Ankabuut: 45). Ayat ini mengisyaratkan bahwa salah satu pencapaian yang dituju oleh adanya kewajiban shalat adalah bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat jahat dan keji. Dan selanjutnya, mengindikasikan bahwa shalat merupakan salah satu rukun Islam yang mendasar dan pijakan utama dalam mewujudkan sistem sosial.
Kemalasan dan keengganan melaksanakan shalat di samping sebagai tanda-tanda kemunafikan, dan semakin lunturnya imannya seseorang, dalam skala besar merupakan tahapan awal kehancuran komunitas muslim. Karena secara empirik shalat merupakan faktor utama dalam proses penyatuan dan pembangunan kembali kekuatan-kekuatan komunitas muslim. Rasul bersabda: Shalat adalah tiang agama, barang siapa menegakkannya, maka ia telah menegakkan agama, dan barang siapa merobohkannya, maka ia telah merobohkan agama (HR. Imam Baihaqi). Itu artinya, kekokohan sendi-sendi sosial masyarakat muslim akan sangat tergantung kepada sejauhmana mereka menegakkan shalat yang sebenar-benarnya. Apabila hal ini tidak menjadi prioritas utamanya, maka kekeroposan sendi-sendi sosial kemasyarakatan akan menghinggapinya, yang berlanjut kepada kehancuran umat Islam itu sendiri. Kuatnya bangunan ditentukan oleh kokohnya tiang penyangga.
Sejatinya Islam adalah agama yang menjamin wujudnya keadilan sosial. Tapi kenyataannya di masyarakat cita-cita itu jauh panggang dari api. Sebaliknya, atmosfer sosial bangsa ini seakan telah tertutup kabut gelap; kemiskinan, kebodohan begitu kuat menjerat masyarakat. Sementara, korupsi telah membudaya di kalangan para pejabat negeri ini. Genaplah sudah penderitaan bangsa ini.
Adanya realitas semacam ini, tentu kita bertanya-tanya, apakah ini sebuah bentuk kecelakaan sejarah. Jika memang warga Indonesia mengaku muslim, sudah pastinya nilai-nilai ibadah shalat yang mengandaikan kesalehan spiritual dan sosial dapat menjamin wujudnya masyarakat yang madani? Bukankan shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (Qs. al-Ankabut: 45), sehingga korupsi semestinya menjadi perbuatan paling dibenci di negeri ini? Tapi agaknya ketaatan beragama dan berketuhanan orang-orang muslim di negeri ini tidak selalu termanifestasi dalam kesatuan manusia yang beradab, kebersatuan sebagai bangsa religius dan solid.
Kalau keadilan sosial tidak juga wujud sampai hari ini di Indonesia, pastilah ada yang salah dengan shalat yang dilakukan oleh orang-orang Islam di negeri ini. Ibadah shalat yang dilakukan sebagai ibadah spiritual nyatanya masih saja belum bisa ditransformasikan secara nyata ke dalam ibadah sosial umat Islam sehari-hari. Yang ada, shalat hanya dilakukan untuk menyombongkan kesalehan individual yang sejatinya tidak mereka miliki. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna, (Qs. al-Maun: 4-7).
Dalam kondisi seperti ini semua umat Islam memiliki tanggung-jawab yang sama, yakni bagaimana mentransformasikan nilai-nilai kesalehan spiritual ibadah shalat ke dalam kesalehan sosial yang wujud dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan itu diharapkan, umat Islam sebagai kekuatan besar yang dimiliki bangsa ini, merasa memiliki tanggung jawab yang sama dalam menyelamatkan umatnya dari keterpurukan, penderitaan dan kemiskinan.
Shalat yang mempunyai fungsi kontrol atas bentuk-bentuk ketidak-adilan harusnya bisa betul-betul wujud dalam kepribadian dan menjadi komitmen bersama umat muslim di negeri ini. Sudah semestinya umat Islam berdiri di garda paling depan dalam mengusung semangat keadilan sosial dalam membela rakyat kecil, melindungi hak kaum miskin, menentang segala bentuk diskriminasi dan melakukan protes sosial terhadap pemerintahan yang korup atau yang semata mengajar kepuasan politik pribadi.
Ibadah shalat cukup menjadi bekal aksi. Sebagai sebuah medium pendidikan, shalat memiliki segudang kelengkapan materi. Materi pendidikan akan prinsip hidup dan berkehidupan. Takbir adalah pendidikan tentang semangat pengabdian. Wudhu adalah pendidikan tentang purifikasi dan kejujuran. Ketetapan lima waktu shalat adalah pendidikan tentang kedisiplinan. Bentuk ritual shalat berjamaah adalah pendidikan tentang persamaan dan kebersamaan. Salam adalah pendidikan tentang kepedulian.
Al-hasil, jika manusia mampu menanamkan kembali moralitas ketuhanan ke dalam jiwanya maka terciptalah pribadi unggul (insan kamil); pribadi yang sifat dan perilakunya selalu berimplikasi baik terhadap makhluk yang lain (rahmatan li al-alamin). Wallahu alamu bis shawab.